"All is numbers" -Phytagoras
Sejak menemukan tempat di
peradaban manusia, sains telah berkembang jauh. Di balik sains yang terus
berlari mencari jawaban dari misteri alam semesta, ada hal yang terus
mengikutinya.
Matematika.
Sejak kecil, saya mengira
matematika adalah belajar angka. Tapi ternyata selepas SMP matematika mulai meluas
sampai belajar logika jika-maka atau mencari digit terakhir dari 3 pangkat
2011. Tidak sekedar menghitung harga satuan apel atau menghitung volume liontin.
Memang membingungkan kalau kita
cari apa itu matematika sebenarnya. Secara klasik, matematika merupakan “science of quantities” karena matematika
sangat erat hubungannya dengan angka. Dengan science of quantities ini, pelajaran IPA direcoki dengan
matematika. Hasilnya luar biasa berguna. Kita tidak hanya bisa bangun jembatan,
namun juga dengan informasi berat maksimumnya. Gedung (lengkap dengan teknologi
anti gempanya), pompa air, pesawat, semua tidak bisa dibangun jika fisika
bekerja tanpa menghitung. Jika sains memberitahu kita bahwa gravitasi menarik
berat benda ke bawah, matematika memberitahu kita berapa lama batu melayang di
udara ketika dilempar. Tapi tak sekedar itu, matematika punya kekuatan yang
jauh lebih mengerikan, a power to create
its own reality.
Sekolah dasar, masih
hangat-hangatnya kami belajar pengurangan. Konsep pengurangan itu dijelaskan
Bapak Guru dengan contoh-contoh sederhana: Andi memiliki 5 permen lalu ia makan
2, maka sisanya 3 permen. Konsep ini sangat melekat di kepala saya. Maka ketika
ditanya pertanyaan 3 dikurang 7, tanpa ragu akan saya jawab 0. Andi sudah tidak
memiliki permen lagi karena semuanya telah dimakan. Di SMP, kami belajar ada
angka-angka lain: bilangan negatif. Maka jawaban matematis dari 3 dikurang 7
adalah minus 4. Ketika dibawa lagi ke contoh realistis, sulit dibayangkan
seberapa banyak minus 4 permen itu. Seakan minus 4 hanya ada di “dunia
matematika” dan tidak dapat dibawa ke “dunia nyata”. Ternyata, bilangan minus
empat itu memang nyata. Contoh paling mudah ada di dunia finansial, minus
artinya hutang. Sebuah keajaiban sederhana, tapi tetap keajaiban, dua konsep
yang berbeda (konsep sisa dan konsep hutang) dapat diprediksikan dari satu
teori matematika.
Belum terkesan? Itu baru
pendahuluan. Nyatanya, beyond this point,
keterhubungan antara realitas dengan abstrak matematika semakin membuat
ilmuwan heran.
WHAT WE SEE
WHAT SCIENTISTS SEE
Katanya, anak fisika adalah
kumpulan orang-orang yang menerjemahkan fenomena alam menjadi persamaan
matematika. Fisikawan juga yang mengutak-atik persamaan-persamaan ini untuk
mencari bagaimana dunia ini bekerja (atau jawaban ujian fisika).
Hasil utak-atik ini yang
mengagumkan. Angka di akhir perhitungan ini bisa menceritakan banyak hal. Kalau
kita menghitung kecepatan mobil dan hasilnya -5 (minus lima), tidak usah panik
karena angka itu menunjukkan mobil berjalan mundur, hal normal. Lain halnya
kalau yang dicari adalah berat mobil. Kita harus panik. Dari teori atom plain Dalton sampai ke teori quark dan
lepton, tidak ada yang namanya massa negatif. Kecuali pada materi pembentuk wormhole.
So we just accidentally built a wormhole, with a car!
Atau... kita cuma salah itung.
Contoh lainnya ketika ada soal
mencari titik potong parabola, kalau ketemu hasilnya √-9. Terus
gimana? Jangan khawatir, memang tidak ada titik potong.
Itulah mengapa matematika dan
angka-angka bisa disebut ajaib. Berangkat dari premis sederhana, ia selalu
konsisten, melewati batas intuisi, pengamatan dan pengalaman kita. Kalau hasil
perhitungan itu tidak masuk akal, pada kenyataannya tidak ada jawaban atau
memang tidak masuk akal.
Inilah yang dilakukan para
fisikawan sejak abad ke 20. Einstein menyimpulkan bahwa waktu itu tidak
absolut. Ia bisa lebih cepat atau lambat tergantung pengamat. Konsep ini tidak
masuk akal dan belum pernah diamati seorangpun. Einstein berani menyimpulkan
hal ini agar hasil perhitungan elektrodinamika Maxwell selaras dengan mekanika
Newton. Einstein chose math over common
sense.
Yang lebih menarik, Einstein juga
menggunakan geometri diferensial untuk menjelaskan gravitasi. Geometri
diferensial merupakan hasil “karya iseng” para matematikawan. Diciptakan tanpa
ada tujuan aplikatif. Sebelum Einstein tidak ada yang menyangka bahwa kerjaan
mereka memiliki aplikasi di dunia nyata. Menjadi lebih hebat lagi bahwa
pemikiran “nyeleneh” Einstein ini sudah didukung banyak eksperimen hingga saat
ini.
Karya iseng lain dari para
matematikawan adalah teori dimensi tinggi. Lagi-lagi kerjaan mereka diserobot
fisikawan teoris saat mencetuskan teori baru untuk menyelaraskan dua teori
besar saat ini: Relativitas Einstein dan Mekanika Kuantum. Teori yang dinamakan
teori string ini dalam formulasinya membutuhkan ruang di dimensi 10. Sesuatu
yang tidak masuk akal dan pastinya belum pernah diamati oleh siapapun.
Teori string dikembangkan lebih
lanjut menjadi teori superstring. Pada teori ini, fisikawan menggunakan
matematika yang belum pernah ada sebelumnya. Ruang-super, aljabar-super,
angka-super (yes they invented new
numbers). Para teoris yang “berselancar” di teori string sudah seperti
meninggalkan dunia nyata dan masuk ke dunia angka-angka.
Maka tidak heran apabila
Phytagoras berkata bahwa dunia ini adalah angka. Prof. Iwan Pranoto menganggap
bahwa dunia ini, kenyataan yang kita tinggali ini, semuanya dibangun oleh
matematika. Yang kita lihat bukanlah hijau dan kuning, melainkan gelombang
500nm dan 580nm. Bukan lingkaran kecil yang kita gambar, tetapi x2+y2=5. Dengan menuliskan dunia seperti itu,
kita dapat lebih mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan dari alam semesta. Dan jika
jawabannya tak masuk akal, seperti dunia berdimensi 10, atau alam semesta
paralel, ilmuwan mengambil langkah seperti Einstein, buang common sense dan percaya bahwa dunia kita memang seperti itu...
Atau... mereka cuma salah hitung.
14 September 2015