Di SMP kelas 1, saya diajarkan
bahwa fisika adalah ilmu yang mempelajari materi dan energi. Basically, almost everything. Yang kita
cari tau adalah mengapa, bukan sekedar apa dan bagaimana. Dan pertanyaan
‘mengapa’ bisa jadi lebih dalam dari yang kita kira.
“Not only is the Universe stranger than we think, it is stranger than we can think." (Werner Heisenberg)
Fisika Adalah Filsafat
Ketika belajar persamaan Maxwell
(yang persamaannya ditemukan piece-by-piece
oleh setidaknya 6 ilmuwan jadi materinya nyerempet ke sejarah) saat
pelatihan OSN 5 tahun lalu, teman saya waktu itu bertanya ke pelatih,
“sebenernya ilmu fisika apa sih yang paling tua?” Berpikir sebentar, kakak pelatih
menjawab dengan nada tanggung, “yaa filsafat alam.”
Interesting!
Rumusan Einstein, Newton, atau
Archimedes sejatinya merupakan jawaban yang diajukan untuk menjawab alasan
terjadinya fenomena-fenomena di alam. Alasan yang sama melahirkan teori-teori seperti
dunia terdiri dari air (Thales), apeiron (Aximander), atau atom (Democritus),
dunia terbagi menjadi 4 elemen (Aristotles), atau teori seperti gunung
merupakan tiang langit, ada dewa petir, dewa gunung, dan sebagainya. Dua hal
yang kita anggap berbeda di masa kini, yang satu sains dan yang lainnya
filsafat. Di zaman Yunani kuno, sains dapat dikatakan menyatu dengan filsafat.
Lalu seiring dengan waktu keduanya terpisah.
Dengan adanya metode saintifik
serta ditemukannya matematika, teori yang dapat dibuktikan secara empiris
bertahan dan menjelma sebagai sains. sementara yang lainnya berguguran.
Filsafat kemudian bergeser untuk membahas pertanyaan-pertanyaan yang belum
dapat dijelaskan secara saintifik, beberapa bahkan imajinatif dan tidak terkait
sama sekali dengan fenomena alam sehingga filsafat mulai ditinggalkan oleh para
pemikir sains.
Dengan ditemukannya engineering, para saintis mulai memiliki
standar baru untuk menerima pertanyaan: “dapatkah jawabannya membantu umat
manusia?” Semakin banyak pertanyaan-pertanyaan yang diabaikan saintis. Kita
tidak perlu mencari tau “apa itu waktu?” “apa itu massa?” karena kita dapat
membuat mesin mobil, pesawat, jam, cukup dengan hukum Newton saja.
And then there was this guy…
Ada beberapa fakta mindblowing yang pada awalnya adalah
premis sederhana. Grand Unified Theory,
General Covariance Principle, dan Matematika. What’s so mindblowing about math? Saya tak akan bahas di sini dulu.
Grand Unified Theory (susah banget diindonesiain) berawal dari
pemikiran bahwa hukum-hukum alam tidak boleh ada yang bertentangan satu sama
lain, kemudian berkembang lebih strict lagi.
Hukum alam tidak boleh ada yang berbeda satu sama lain. Kenapa? Ambil contoh pada
benda mengapung dan tenggelam,
Fenomena 1: Kayu mengapung di air
Teori 1: Kayu lebih ringan dari
air
Fenomena 2: Batu tenggelam di air
Teori 2: Batu lebih berat dari
air
Sejauh ini, tidak ada yang salah
dengan teori 1 dan 2. Walaupun berbeda namun tidak bertentangan dan dapat
menjelaskan masing-masing fenomena. Namun teori yang berbeda ini menyebabkan
pertanyaan baru, mengapa yang berat tenggelam dan yang ringan mengapung?
Akhirnya teori 1 dan 2 disatukan menjadi teori yang lebih universal, hukum
Archimedes. Dan selanjutnya dapat diketahui Hukum Archimedes pun merupakan
bagian dari hukum yang lebih umum lagi: Hukum Newton.
Paruh kedua dari abad 19, ada
teori yang lagi ngetren: persamaan
Maxwell, yang menjelaskan fenomena-fenomena listrik dan magnet. Masalahnya,
persamaan ini tidak bisa disatukan dengan Hukum Newton, sebelum pada akhirnya
Einstein dapat “mengakurkan” keduanya dengan Teori Relativitas Khusus.
Sederhana? Not really. Teori ini menyatakan bahwa Hukum Newton salah dan harus
diubah. Hukum yang telah berdiri tegak selama 200 tahun. Bukan hanya itu, Teori
Einstein juga menyatakan waktu dapat bergerak lebih lambat, dan ruang dapat
berkontraksi (mengecil), serta menyatakan bahwa energi dan massa merupakan
suatu hal yang sama. Begitu juga ruang dan waktu. Hal-hal yang tidak bisa
diterima logika umum waktu itu.
Tidak berhenti di situ, premis
sederhana yang lain: Prinsip Kovariansi Umum atau General Covariance Principle, yang menyatakan bahwa hukum alam
harus berlaku sama di manapun dan dalam kondisi apapun, mengarahkan Einstein ke
konsep gravitasi, yang lagi-lagi merevisi Teori Newton.
Teori Einstein menggunakan konsep
dan melahirkan fakta-fakta yang sebelumnya imajinatif, ruang dengan dimensi 4
atau lebih, waktu yang berhenti, ruang dan waktu yang terdistorsi, serta
memaksa saintis merangkul kembali pertanyaan-pertanyaan “tidak penting”
seperti, apa itu waktu dan ruang? Apa itu massa dan energi? Seperti apa dunia
10 dimensi itu? Pertanyaan yang muncul hanya dari dua premis sederhana.
Kita belum berbicara mengenai
kuantum, yang buat saya lebih tidak masuk akal lagi. Kucing Schrodinger yang
mati dan hidup dalam waktu bersamaan, keberadaan partikel yang serba
probabilistik. Maka jangan heran apabila masuk ke kelas teoretik, sesekali akan
berubah menjadi kelas filsafat. Bukan untuk iseng atau bicara ngalor-ngidul, konsep-konsep
filosofis dibutuhkan untuk memahami lebih dalam mengenai hukum alam.
Dari sejarah itu, fisika
sejatinya tidak akan lepas dari filsafat. Bahkan fisika adalah filsafat itu
sendiri. Di masa kini, pertanyaan-pertanyaan terbesar dalam filsafat tidak
muncul secara acak dari seseorang yang sedang merenung lama. Tetapi
pertanyaan-pertanyaan ini justru muncul setelah suatu teori sains dikeluarkan.
Contohnya adalah teori Einstein di atas. Contoh lain adalah teori string yang
memungkinkan adanya dunia paralel.
And above all, umat manusia mengira akan mendapat jawaban memuaskan
ketika mendapatkan sebuah teori yang dapat menjelaskan semuanya. Saat ini
ilmuwan sedang berusaha untuk menyatukan teori kuantum dengan teori relativitas
Einstein menjadi suatu teori yang disebut theory
of everything, teori tunggal yang dapat menjelaskan semua fenomena di alam
semesta. Namun, melihat teori relativitas dan kuantum yang sudah melahirkan
pertanyaan-pertanyaan sulit. Jika suatu saat theory of everything ditemukan, manusia akan menghadapi pertanyaan
terbesar: “where do these come from?”
Fun fact
Ketika Einstein mempublikasi
papernya tentang teori relativitas, konon tidak ada orang di dunia ini yang
mengerti konsepnya kecuali 3 orang (termasuk Einstein) saking tidak masuk
akalnya teori ini. di suatu kelas di Inggris, Sir Eddington mendapat pernyataan
dari mahasiswanya, “Pak, saya pikir Anda salah satu dari 3 orang yang mengerti
teorinya Einstein.” Eddington diam merenung tak menjawab.
“Ayolah Pak, tidak usah merendah
diri”, mahasiswanya melanjutkan.
“Tidak, tidak. Saya justru sedang
berpikir siapa orang ketiganya.” jawab Eddington.
Selesai ditulis pada 30 Juni 2014
terus, orang ketiganya siapa? gue udah nonton Einstein and Eddington btw.
ReplyDelete