Sunday, 7 August 2016

Leicester di Senja Tiki-Taka

Beberapa waktu lalu Eropa diguncang bom di bandara Brussel gara-gara ulah seorang Afrika Utara, tak lama kemudian seorang Afrika Utara yang lain ikut mengguncang Eropa. Tak pernah terdengar, tiba-tiba ia menjadi pemain Afrika pertama yang menerima penghargaan pemain terbaik PFA, bersamaan dengan kawan-kawannya yang juga mengguncang dunia di atas kapal yang bernama Leicester City.
source:metro.co.uk

Hampir setiap sudut dalam cerita mereka seperti datang dari negeri dongeng. Pelatih buangan, kapten yang dicap pengkhianat, pemain yang tumbuh di jalanan, kiper yang terbebani nama ayahnya. Takdir membawa mereka ke titik termanis, setelah 3 tahun lalu takdir jugalah yang menghajar mereka keras-keras. Lebih perih daripada Milan di 2005 atau Bayern di penghujung abad lalu. Mereka bertarung di liga yang terkenal dengan Gerrard’s slip atau guyonan gajah di puncak pohon. Leicester seperti gajah itu, kita tidak tahu bagaimana dia bisa ada di puncak, tapi kita tahu dia pasti akan jatuh. Tambah ironis karena di Italia, kegagalan Ranieri memiliki pola yang sama. Bagus di awal namun selanjutnya terpeleset sampai ia kehilangan gelar. Tak perlu diceritakan lagi, narasi perjalanan selanjutnya sudah menggaung seantero bumi.


Tidak lama sebelumnya, cerita bersejarah juga sebenarnya terjadi. Yang membedakan, mereka bukan klub kecil dan pembencinya cukup banyak. Tahun 2010an, Barcelona dan tiki-taka menduduki tahta sepakbola. Tidak hanya membuahkan trofi, gaya tiki-taka mereka juga menjadi trademark akan keindahan sepakbola. Guardiola yang ‘bukan siapa-siapa’ sekejap menjadi pelatih kelas dunia. Selain itu, Barcelona menggapai kesuksesan ini dengan pemain-pemain dari akademi sendiri. Mereka telah menciptakan utopia sepakbola. Bermain indah dan mendominasi kejuaraan dengan pemain dari rumah sendiri. Tapi, bagaikan penguasa yang terlalu lama berkuasa, dominasi mereka mulai mengatur standar yang tidak perlu diatur.

Permainan mereka benar-benar mereset definisi sepakbola indah. Sepakbola itu harus menyerang, dan menyerang adalah tentang penguasaan bola. Yang tidak demikian siap-siaplah dihujat dengan cap membosankan, tidak pantas menang, anti-sepakbola. Di tiap akhir pertandingan, status Barcelona hanya ada dua: ‘menang’ atau ‘tidak pantas kalah’. Beberapa kali pemain mereka berkomentar bahwa mereka seharusnya menang berbekal statistik penguasaan bola. Di era ini, semua taktik anti tiki-taka memang berbasis permainan defensif.

Hingga Barcelona dihajar Muenchen tahun 2013, serta Bayern yang dihajar Madrid setahun setelahnya, kita disuguhkan sepakbola atraktif dalam bentuk lain, counter-attack. Mulai ada suara-suara bahwa taktik berbasis penguasaan bola tidak selamanya indah. Tiki-taka, walaupun mengantar Spanyol juara dunia, tapi juga dengan rekor negatif: juara dunia paling seret gol. Di sisi lain, bermain bertahan kini dapat menjadi seni sepakbola seperti yang diperlihatkan Conte atau Simeone.

Indahnya sepakbola kini terjadi di Inggris, dan jauh lebih menghentak dari tiki taka.

Jika Guardiola memulai dari nol, Ranieri tidak begitu. Beberapa kali sukses mengangkat tim kecil, Ranieri tidak pernah sukses di tim besar. Terakhir kali dia dipecat karena timnya, Yunani, kalah dari Kepulauan Faroe, negara yang sebenarnya masih bagian dari Denmark. Bagian kecil.

Cerita Mahrez dan Vardy tentu berbeda dengan Messi dkk. Mereka bukan anak ajaib. Vardy bukan good boy. Mereka berdua tumbuh dari jalanan, lalu bermain sepakbola amatir. Tidak ada La Masia. Kontras latar belakang ini tidak hadir hanya sebagai cerita. Mahrez sendiri pernah bilang justru karena ia dulu bermain di jalan, ia memiliki kemampuan lain yang tidak dimiliki pemain kelahiran akademi. Ia bisa bermain lebih liar dan tidak terbelenggu pada kurikulum akademi yang tak pernah ia dapat.

Dongeng ini bisa lebih sempurna andai Leicester bisa menang di Teater Impian. Atau Knockaerts tidak meninggalkan Leicester dan ikut mengangkat piala. Karena ini memang dunia nyata. Bahkan bisa jadi ini hanya keajaiban satu musim. Bisa jadi Ranieri kembali menjadi Tinkerman yang sembrono dan membuang-buang kemenangan di depan mata. Bisa jadi Vardy ‘kumat’ dan membuat headline yang lebih heboh dari Balotelli. Tapi satu musim ini saja sudah cukup.

Leicester tidak pernah mengalahkan tiki-taka di lapangan. Namun, mereka mempreteli semua dominasi standar sepakbola indah. Premis bahwa kesuksesan didapat dari akademi juga mereka patahkan dengan kerja keras. Berkali-kali Ranieri bersyukur dengan kemenangan yang jelek. Dengan formasi klasiknya, 4-4-2 yang katanya usang ditelan zaman, tidak ada tiki-taka. Tidak ada permainan indah. Tapi semua orang begidik saat melihat Vardy mencetak gol. Semua orang melabeli mereka sebagai keindahan sepakbola, keindahan olahraga.

Ngomong-ngomong tentang keindahan. Tak ada yang lebih membosankan daripada melihat pemenang yang itu-itu saja bukan?

No comments:

Post a Comment