Beberapa waktu lalu Eropa diguncang bom di bandara Brussel
gara-gara ulah seorang Afrika Utara, tak lama kemudian seorang Afrika Utara
yang lain ikut mengguncang Eropa. Tak pernah terdengar, tiba-tiba ia menjadi
pemain Afrika pertama yang menerima penghargaan pemain terbaik PFA, bersamaan
dengan kawan-kawannya yang juga mengguncang dunia di atas kapal yang bernama
Leicester City.
source:metro.co.uk
|
Hampir setiap sudut dalam cerita mereka seperti datang dari
negeri dongeng. Pelatih buangan, kapten yang dicap pengkhianat, pemain yang
tumbuh di jalanan, kiper yang terbebani nama ayahnya. Takdir membawa mereka ke
titik termanis, setelah 3 tahun lalu takdir jugalah yang menghajar mereka
keras-keras. Lebih perih daripada Milan di 2005 atau Bayern di penghujung abad
lalu. Mereka bertarung di liga yang terkenal dengan Gerrard’s slip atau guyonan gajah di puncak pohon. Leicester
seperti gajah itu, kita tidak tahu bagaimana dia bisa ada di puncak, tapi kita
tahu dia pasti akan jatuh. Tambah ironis karena di Italia, kegagalan Ranieri memiliki
pola yang sama. Bagus di awal namun selanjutnya terpeleset sampai ia kehilangan
gelar. Tak perlu diceritakan lagi, narasi perjalanan selanjutnya sudah
menggaung seantero bumi.
Tidak lama sebelumnya, cerita bersejarah juga sebenarnya
terjadi. Yang membedakan, mereka bukan klub kecil dan pembencinya cukup banyak.
Tahun 2010an, Barcelona dan tiki-taka menduduki tahta sepakbola. Tidak hanya
membuahkan trofi, gaya tiki-taka mereka juga menjadi trademark akan keindahan
sepakbola. Guardiola yang ‘bukan siapa-siapa’ sekejap menjadi pelatih kelas
dunia. Selain itu, Barcelona menggapai kesuksesan ini dengan pemain-pemain dari
akademi sendiri. Mereka telah menciptakan utopia sepakbola. Bermain indah dan
mendominasi kejuaraan dengan pemain dari rumah sendiri. Tapi, bagaikan penguasa yang terlalu lama berkuasa, dominasi mereka mulai mengatur standar yang tidak
perlu diatur.
Permainan mereka benar-benar mereset definisi sepakbola
indah. Sepakbola itu harus menyerang, dan menyerang adalah tentang penguasaan
bola. Yang tidak demikian siap-siaplah dihujat dengan cap membosankan, tidak
pantas menang, anti-sepakbola. Di tiap akhir pertandingan, status Barcelona
hanya ada dua: ‘menang’ atau ‘tidak pantas kalah’. Beberapa kali pemain mereka
berkomentar bahwa mereka seharusnya menang berbekal statistik penguasaan bola.
Di era ini, semua taktik anti tiki-taka memang berbasis permainan defensif.
Hingga Barcelona dihajar Muenchen tahun 2013, serta Bayern
yang dihajar Madrid setahun setelahnya, kita disuguhkan sepakbola atraktif
dalam bentuk lain, counter-attack. Mulai ada suara-suara bahwa taktik berbasis
penguasaan bola tidak selamanya indah. Tiki-taka, walaupun mengantar Spanyol
juara dunia, tapi juga dengan rekor negatif: juara dunia paling seret gol. Di
sisi lain, bermain bertahan kini dapat menjadi seni sepakbola seperti yang
diperlihatkan Conte atau Simeone.
Indahnya sepakbola kini terjadi di Inggris, dan jauh lebih
menghentak dari tiki taka.
Jika Guardiola memulai dari nol, Ranieri tidak begitu. Beberapa
kali sukses mengangkat tim kecil, Ranieri tidak pernah sukses di tim besar.
Terakhir kali dia dipecat karena timnya, Yunani, kalah dari Kepulauan Faroe,
negara yang sebenarnya masih bagian dari Denmark. Bagian kecil.
Cerita Mahrez dan Vardy tentu berbeda dengan Messi dkk.
Mereka bukan anak ajaib. Vardy bukan good boy. Mereka berdua tumbuh dari
jalanan, lalu bermain sepakbola amatir. Tidak ada La Masia. Kontras latar
belakang ini tidak hadir hanya sebagai cerita. Mahrez sendiri pernah bilang
justru karena ia dulu bermain di jalan, ia memiliki kemampuan lain yang tidak
dimiliki pemain kelahiran akademi. Ia bisa bermain lebih liar dan tidak
terbelenggu pada kurikulum akademi yang tak pernah ia dapat.
Dongeng ini bisa lebih sempurna andai Leicester bisa menang
di Teater Impian. Atau Knockaerts tidak meninggalkan Leicester dan ikut mengangkat
piala. Karena ini memang dunia nyata. Bahkan bisa jadi ini hanya keajaiban satu
musim. Bisa jadi Ranieri kembali menjadi Tinkerman yang sembrono dan
membuang-buang kemenangan di depan mata. Bisa jadi Vardy ‘kumat’ dan membuat headline yang lebih heboh dari Balotelli. Tapi satu musim ini saja sudah cukup.
Leicester tidak pernah mengalahkan tiki-taka di lapangan.
Namun, mereka mempreteli semua dominasi standar sepakbola indah. Premis bahwa kesuksesan didapat dari akademi juga mereka patahkan dengan kerja keras. Berkali-kali Ranieri bersyukur dengan kemenangan yang jelek. Dengan formasi klasiknya, 4-4-2 yang katanya usang ditelan zaman, tidak ada
tiki-taka. Tidak ada permainan indah. Tapi semua orang begidik saat melihat
Vardy mencetak gol. Semua orang melabeli mereka sebagai keindahan sepakbola,
keindahan olahraga.
Ngomong-ngomong tentang keindahan. Tak ada yang lebih
membosankan daripada melihat pemenang yang itu-itu saja bukan?
No comments:
Post a Comment