Saturday 26 September 2015

Filsafat tentang Alam

Di SMP kelas 1, saya diajarkan bahwa fisika adalah ilmu yang mempelajari materi dan energi. Basically, almost everything. Yang kita cari tau adalah mengapa, bukan sekedar apa dan bagaimana. Dan pertanyaan ‘mengapa’ bisa jadi lebih dalam dari yang kita kira.
“Not only is the Universe stranger than we think, it is stranger than we can think." (Werner Heisenberg)

Fisika Adalah Filsafat

Ketika belajar persamaan Maxwell (yang persamaannya ditemukan piece-by-piece oleh setidaknya 6 ilmuwan jadi materinya nyerempet ke sejarah) saat pelatihan OSN 5 tahun lalu, teman saya waktu itu bertanya ke pelatih, “sebenernya ilmu fisika apa sih yang paling tua?” Berpikir sebentar, kakak pelatih menjawab dengan nada tanggung, “yaa filsafat alam.”

Interesting!


Rumusan Einstein, Newton, atau Archimedes sejatinya merupakan jawaban yang diajukan untuk menjawab alasan terjadinya fenomena-fenomena di alam. Alasan yang sama melahirkan teori-teori seperti dunia terdiri dari air (Thales), apeiron (Aximander), atau atom (Democritus), dunia terbagi menjadi 4 elemen (Aristotles), atau teori seperti gunung merupakan tiang langit, ada dewa petir, dewa gunung, dan sebagainya. Dua hal yang kita anggap berbeda di masa kini, yang satu sains dan yang lainnya filsafat. Di zaman Yunani kuno, sains dapat dikatakan menyatu dengan filsafat. Lalu seiring dengan waktu keduanya terpisah.

Dengan adanya metode saintifik serta ditemukannya matematika, teori yang dapat dibuktikan secara empiris bertahan dan menjelma sebagai sains. sementara yang lainnya berguguran. Filsafat kemudian bergeser untuk membahas pertanyaan-pertanyaan yang belum dapat dijelaskan secara saintifik, beberapa bahkan imajinatif dan tidak terkait sama sekali dengan fenomena alam sehingga filsafat mulai ditinggalkan oleh para pemikir sains.

Dengan ditemukannya engineering, para saintis mulai memiliki standar baru untuk menerima pertanyaan: “dapatkah jawabannya membantu umat manusia?” Semakin banyak pertanyaan-pertanyaan yang diabaikan saintis. Kita tidak perlu mencari tau “apa itu waktu?” “apa itu massa?” karena kita dapat membuat mesin mobil, pesawat, jam, cukup dengan hukum Newton saja.

And then there was this guy…


Ada beberapa fakta mindblowing yang pada awalnya adalah premis sederhana. Grand Unified Theory, General Covariance Principle, dan Matematika. What’s so mindblowing about math? Saya tak akan bahas di sini dulu.

Grand Unified Theory (susah banget diindonesiain) berawal dari pemikiran bahwa hukum-hukum alam tidak boleh ada yang bertentangan satu sama lain, kemudian berkembang lebih strict lagi. Hukum alam tidak boleh ada yang berbeda satu sama lain. Kenapa? Ambil contoh pada benda mengapung dan tenggelam,

Fenomena 1: Kayu mengapung di air
Teori 1: Kayu lebih ringan dari air

Fenomena 2: Batu tenggelam di air
Teori 2: Batu lebih berat dari air

Sejauh ini, tidak ada yang salah dengan teori 1 dan 2. Walaupun berbeda namun tidak bertentangan dan dapat menjelaskan masing-masing fenomena. Namun teori yang berbeda ini menyebabkan pertanyaan baru, mengapa yang berat tenggelam dan yang ringan mengapung? Akhirnya teori 1 dan 2 disatukan menjadi teori yang lebih universal, hukum Archimedes. Dan selanjutnya dapat diketahui Hukum Archimedes pun merupakan bagian dari hukum yang lebih umum lagi: Hukum Newton.

Paruh kedua dari abad 19, ada teori yang lagi ngetren: persamaan Maxwell, yang menjelaskan fenomena-fenomena listrik dan magnet. Masalahnya, persamaan ini tidak bisa disatukan dengan Hukum Newton, sebelum pada akhirnya Einstein dapat “mengakurkan” keduanya dengan Teori Relativitas Khusus.

Sederhana? Not really. Teori ini menyatakan bahwa Hukum Newton salah dan harus diubah. Hukum yang telah berdiri tegak selama 200 tahun. Bukan hanya itu, Teori Einstein juga menyatakan waktu dapat bergerak lebih lambat, dan ruang dapat berkontraksi (mengecil), serta menyatakan bahwa energi dan massa merupakan suatu hal yang sama. Begitu juga ruang dan waktu. Hal-hal yang tidak bisa diterima logika umum waktu itu.

Tidak berhenti di situ, premis sederhana yang lain: Prinsip Kovariansi Umum atau General Covariance Principle, yang menyatakan bahwa hukum alam harus berlaku sama di manapun dan dalam kondisi apapun, mengarahkan Einstein ke konsep gravitasi, yang lagi-lagi merevisi Teori Newton.

Teori Einstein menggunakan konsep dan melahirkan fakta-fakta yang sebelumnya imajinatif, ruang dengan dimensi 4 atau lebih, waktu yang berhenti, ruang dan waktu yang terdistorsi, serta memaksa saintis merangkul kembali pertanyaan-pertanyaan “tidak penting” seperti, apa itu waktu dan ruang? Apa itu massa dan energi? Seperti apa dunia 10 dimensi itu? Pertanyaan yang muncul hanya dari dua premis sederhana.

Kita belum berbicara mengenai kuantum, yang buat saya lebih tidak masuk akal lagi. Kucing Schrodinger yang mati dan hidup dalam waktu bersamaan, keberadaan partikel yang serba probabilistik. Maka jangan heran apabila masuk ke kelas teoretik, sesekali akan berubah menjadi kelas filsafat. Bukan untuk iseng atau bicara ngalor-ngidul, konsep-konsep filosofis dibutuhkan untuk memahami lebih dalam mengenai hukum alam.

Dari sejarah itu, fisika sejatinya tidak akan lepas dari filsafat. Bahkan fisika adalah filsafat itu sendiri. Di masa kini, pertanyaan-pertanyaan terbesar dalam filsafat tidak muncul secara acak dari seseorang yang sedang merenung lama. Tetapi pertanyaan-pertanyaan ini justru muncul setelah suatu teori sains dikeluarkan. Contohnya adalah teori Einstein di atas. Contoh lain adalah teori string yang memungkinkan adanya dunia paralel.

And above all, umat manusia mengira akan mendapat jawaban memuaskan ketika mendapatkan sebuah teori yang dapat menjelaskan semuanya. Saat ini ilmuwan sedang berusaha untuk menyatukan teori kuantum dengan teori relativitas Einstein menjadi suatu teori yang disebut theory of everything, teori tunggal yang dapat menjelaskan semua fenomena di alam semesta. Namun, melihat teori relativitas dan kuantum yang sudah melahirkan pertanyaan-pertanyaan sulit. Jika suatu saat theory of everything ditemukan, manusia akan menghadapi pertanyaan terbesar: “where do these come from?”

Fun fact
Ketika Einstein mempublikasi papernya tentang teori relativitas, konon tidak ada orang di dunia ini yang mengerti konsepnya kecuali 3 orang (termasuk Einstein) saking tidak masuk akalnya teori ini. di suatu kelas di Inggris, Sir Eddington mendapat pernyataan dari mahasiswanya, “Pak, saya pikir Anda salah satu dari 3 orang yang mengerti teorinya Einstein.” Eddington diam merenung tak menjawab.
“Ayolah Pak, tidak usah merendah diri”, mahasiswanya melanjutkan.
“Tidak, tidak. Saya justru sedang berpikir siapa orang ketiganya.” jawab Eddington.

Selesai ditulis pada 30 Juni 2014

1 comment:

  1. terus, orang ketiganya siapa? gue udah nonton Einstein and Eddington btw.

    ReplyDelete