Friday 10 June 2011

Iman: Doktrin atau Logika??


Kemarin sore, saya berbincang-bincang dengan sahabat saya,seseorang yang sedang ragu akan yang diyakininya sekarang. Dia tidak merasakan iman semanis saat dia masih menjadi anak kecil yang polos. Entah dia harus menyalahkan siapa. Kami berbincang-bincang selepas shalat ashar, berbicara hal-hal klasik yang sudah sering dipertanyakan tentang ketuhanan dan agama.

Well, sebenernya ga sampe nyelem dalem kita berbincang. Yang dia keluhkan hanya kekhusyu’an shalatnya sekarang dia rasa ga se-khusyu’ dulu. Ga ada hubungannya ama obrolan lintas agama, nyenggol-nyenggol dikit sih, ga banyak. Tapi obrolan ini menyapa hati saya dan mengingatkan saya akan sebuah tugas dari MSI, wehehe.

Suatu pertanyaan mendasar, ada yang berorientasi pada akal, ada yang berorientasi pada keyakinan hati/doktrin. Ada yang menjawab kombinasi dari keduanya, ada yang menjawab bukan keduanya. Bukan hanya sekedar menjawab, ada yang terus mendebat jawaban lain, ada yang menerima (baca: membenarkan) semua jawaban, ada yang memilih diam dan menyalahkan yang menjawab. Banyak jawaban dari beragam kepala yang telah diciptakan Tuhan ini. Namun pada intinya semua jawaban merupakan kombinasi dan variasi dari 2 pilihan: doktrin atau logika?
 
Berawal dari definisi "konsep iman" itu sendiri.. Tiap agama, tiap kepercayaan, pasti memiliki definisi berbeda mengenai apa itu "iman." Di dalam islam, iman itu iqrar (bi al-lisan), tasdiq (bi al-qalb), dan amal
(bi al-arkan). Iman itu mengikrarkan, meyakini, dan mengamalkan. Jadi ketika ditanya doktrin atau logika, tidak bisa dijawab secara general. Karena "percaya Tuhan itu ada" dan "menyingkirkan duri di jalan" keduanya merupakan iman, dan keduanya memiliki jawaban berbeda.
 
Sebelum lebih dalam. Mari kita lihat iman secara umum. Iman itu percaya kepada hal yang tidak bisa dibuktikan secara mutlak. Tuhan, malaikat, jin, alam gaib, dan lain sebagainya. Kalau percaya pesawat bisa terbang itu bukan iman yang kita bicarakan di sini. Jika boleh disederhanakan, iman itu percaya pada hal2 yang tidak masuk akal. Dari poin ini terlihat bahwa iman itu bukan berasal dari akal.

Di dalam islam. Ringkasnya iman itu terbagi pada percaya pada keberadaan/sifat dan implementasi dari kepercayaan tersebut. Dalam konteks percaya pada keberadaan Tuhan dan mempelajari sifat-sifatNya, tidak bisa kita mengandalkan akal kita. Dan untuk implementasinya (Ibadah), maka logika sangat digunakan untuk membuat dan merunut metode agar sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Tapi tetap saja, logika hanyalah metode. Panduannya tetaplah Al-Quran dan Sunnah Nabi  Muhammad SAW. Contohnya untuk cara shalat, panduannya adalah Al-Quran dan hadits Nabi. Para ulama membuat disiplin ilmu, ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan lain-lain untuk merunut mana dalil yang benar dan mana dalil yang salah.

Berarti logika ga bisa ngeraba keberadaan Tuhan?
ya bisa dong.

Sampai saat ini belum ada yang bisa menjelaskan kenapa hormon-hormon tubuh membuat air mata keluar saat sedih, tertawa saat merasakan sesuatu yang lucu, dan emosi-emosi lainnya. Karna evolusi kah? Adaptasi kah? Penyesuaian terhadap apa?

Sampai saat ini belum terungkap sepenuhnya apa yang terjadi saat Big Bang, asal mula alam semesta ini. Apalagi yang terjadi sebelumnya. Belum ada yang tahu apa itu nyawa, apa definisi hidup (bukan ciri-ciri hidup ya), apa itu waktu. Dan masih banyak hal lain yang tidak bisa dijelaskan tanpa ‘memasukkan’ akhirat ke dalam penjelasan itu.

Di segi motivasi. Jika tak percaya Tuhan, manusia tidak akan memiliki tujuan selain kematian. Coba, tanyakan pada diri sendiri, apa tujuan hidup kita? Untuk apa kita belajar? Untuk mencari kerja dan kaya raya? Untuk apa kita kaya raya, bukankah semuanya akan ditinggal mati? Atau untuk membahagiakan anak kita? Untuk apa membahagiakan anak kita? Atau untuk berbagi dan peduli pada mereka yang kurang mampu? Untuk apa menjadi peduli? Yang kita terima hanyalah terimakasih dari mereka?
Semuanya akan menjadi tujuan yang jelas jika kita percaya akan ada kehidupan setelah kematian bukan?

Namun, logika manusia tak sempurna. Pasti ada kontradiksi dalam memikirkan Dzat Tuhan. Dan ini bukan ada pada agama dan kepercayaan tertentu saja dan bukan bagi mereka yang percaya pada Tuhan saja. Banyak dari manusia yang menjadi atheis karena menemukan kontradiksi ini. But what next? Di dalam ke atheisan sendiri juga banyak terjadi kontradiksi. Dan manusia-manusia mulai mengenal agnostisme. Percaya pada Tuhan tapi tidak terikat pada agama manapun. Sebuah kepercayaan yang makin tidak masuk akal dan hanya “pelarian” dari kekontradiksian yang tidak bisa mereka atasi selama ini.
fides quaerens intellectum (Iman meminta pengertian)
jangan sampai kita percaya pada Allah karena kita percaya pada otak kita. Seharusnya sebaliknya. Kita bisa memaksimalkan otak kita berbasis pada Iman kepada Allah.
sebaiknya teologi dihindarkan. Ga usah ngebayangin yang aneh-aneh. Karena PASTI ga akan dapet jawaban yang kongkrit.

Kalo ada atheis menyuruh membuktikan Tuhan, gimana?
Suruh balik, buktikan Tuhan itu tidak ada?
 
Oh iya, kalau saya pribadi, mengapa saya percaya Allah. Terlalu banyak keajaiban yang dapat tidak dapat dijelaskan hanya dengan mengatakan itu semua “hanya kebetulan.” In my own life of course :). Dan itu semua tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. 
Saya yakin Tuhan punya cara-Nya untuk meyakinkan hamba-Nya bahwa Dia ada. Dan sisanya tergantung pada si hamba. Menyadari atau mengabaikan.

sekian

No comments:

Post a Comment