Saturday 10 July 2010

Love ya mom....

Sabtu, 10 Juli 2010.
Siang itu aku sedang bermain dengan laptopku, merapihkan file-file dan folder sembari menunggu buffering One Piece ditemani Plurk dan Facebook yang sedang sepi. Keasyikanku terganggu saat adikku menyapaku dan bilang ayah memanggilku. Syetan pun menghiasi langkahku dengan rasa malas untuk memenuhi panggilan yang sepatutnya kupenuhi dengan segera dan penuh keikhlasan. Andai aku tahu yang sebenarnya….

Sesampainya di kamar orangtuaku, aku terperanjat. Aku sedikit menyesali perasaan malasku saat dipanggil ayah tadi. Ibuku sedang merintih kesakitan, ayahku di sampingnya tak mengatakan apapun padaku saat aku datang, dia sibuk menenangkan ibuku dengan Ayat-Ayat Al-Quran sambil menggenggam tangan ibuku.

Ketika ayahku bertanya apa ibuku mau di periksa ke dokter, ibuku tak sanggup menjawab. Bahkan untuk merintih saja, ibuku tak kuasa untuk mengeluarkan suaranya. Yang dapat kudengar hanya lirihan-lirihan panjang, “Astaghfirullah, Laailahaillallah Muhammadurrasulullah.” Aku duduk di sampingnya, tetapi tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.

Ayahku mencoba apapun yang ia bisa. Ayah pun akhirnya bicara padaku, ia menyuruhku untuk mencari buku terapi pengobatan. Tanpa basa-basi, aku pergi ke rak buku di ruang tamu dan langsung mencari. Sekitar 5 menit mencari, aku tak menemukan yang kucari. Sebenarnya aku hampir menyerah, tapi aku tidak mau ayahku kecewa ketika aku kembali dan hanya bilang aku tak menemukan apa-apa.

Sementara itu, aku mendengar adik-adikku dipanggil ke dalam kamar. Dan beberapa saat kemudian ketika keluar, mereka terlihat bingung, saling menatap satu sama lain sambil sesekali tersenyum. Salah satu dari mereka mengajak yang lain untuk bermain bola. Tapi tidak seperti biasanya yang penuh semangat, ajakannya begitu lemas dan ragu. Aku mengerti perasaan mereka sama sepertiku, bingung dan khawatir dengan apa yang sedang terjadi, sekaligus berharap, sangat sangat berharap tak ada mimpi buruk untuk kami. Hanya saja hati mereka memberontak, menghibur diri mereka dan mensugesti keadaan agar semuanya kembali normal.

Adik-adik kecil ku pun pergi bermain bola, sementara aku yang belum menemukan buku itu, pergi ke rak lain, rak buku yang ada di dalam kamarku. Sambil menyari, aku mulai berpikir tentang penyesalan-penyesalanku. Aku mulai teringat kesalahan-kesalahanku pada ibuku. “berbakti pada ibu” yang selama ini selalu berdengung di telingaku sepertinya akan sia-sia karena aku tak lagi memiliki kesempatan untuk mengamalkannya andai mimpi burukku benar-benar terjadi sebentar lagi. Aku benar-benar lupa bahwa Izrail merupakan seorang tamu tak diundang yang menakutkan. Hatiku benar-benar teriris.

Di rak yang berisi buku-buku lama tersebut, detik demi detik memoriku terbuka satu persatu. Buku yang kucari belum juga kutemukan, yang ada hanyalah buku-buku penuh kenangan yang semakin meruntuhkan dinding penghalang memoriku dan mengingat kembali semua kenangan bersamanya. Suatu buku masak dengan cover gambar kue-kue unik yang aku kenal. Ibuku pernah mencoba membuat kue-kue itu untukku dan adik-adikku, namun kami tidak mau menghabiskannya dan mengeluh karena kue-kue itu tak seenak kelihatannya. Buku-buku tulis masa smp ku dengan sobekan sisa-sisa sampul coklat dan sampul plastik hasil kerja keras ibuku semalaman menyampul belasan buku tulis. Tapi aku malah tak nyaman dengan sampul-sampul itu karena terlalu “kekanak-kanakan.” Aku ingat ketika sedikit demi sedikit aku merusak dan merobek sampul-sampul itu hingga buku-buku itu menjadi seperti sekarang yang aku lihat ini. Dan aku ingat betul kenangan dengan buku itu. Tulisan-tulisan di dalamnya merupakan tugas-tugasku yang kukerjakan sendiri tanpa orangtuaku. Aku yang sudah beranjak SMP dan telah mendapat secuil prestasi, mulai angkuh dan tidak pernah lagi berkonsultasi kepada orangtuaku tentang tugas-tugasku. Padahal saat SD, ibuku selalu menemaniku menyelesaikan PR-ku. Tak jarang ia meneteskan airmatanya melihatku dengan otak batuku tak bisa mengerjakan soal-soal dengan benar. Maafkan aku, Ibu :(

Semua memori itu, membuatku makin tak tahan untuk membendung air mata. Buku tes IQ, buku yang dulu aku beli saat aku pergi ke toko buku sendirian, tanpa ditemani orangtuaku lagi. Aku yang semakin tumbuh dewasa, semakin lepas dari orangtuaku. Diri ini semakin melupakan mereka, meskipun aku tak pernah sadar dalam keangkuhanku aku merasa menjadi anak yang paling berbakti. Buku “birrul walidain,” aku ingat ketika ibuku memberikan buku ini padaku dan selalu berwasiat agar aku selalu berbakti kepadanya. Waktu itu aku tak memperhatikan semua kalimatnya dan berkata dalam hati, “aku sudah tau, mi. aku tak perlu mendengar itu lagi.” Astaghfirullah sombongnya aku :’( tangisku akhirnya  pecah saat melihat suatu poster dengan gambar sebuah gedung dan tulisan dibawahnya, “Institut Teknologi Bandung.” Aku yakin tanpa ibuku namaku takkan berada di daftar mahasiswa institut itu. Bahkan jika Ibuku pergi sekarang, aku tak yakin aku bisa menjalani tahun pertama di kampus baruku itu. Terserah jika semua orang memanggilku anak manja, tapi AKU MASIH BUTUH IBUKU DI SINI. Aku ingin membalas semua kebaikannya, walaupun tak akan mungkin. Aku masih ingin membahagiakannya. Aku ingin ia bangga memiliki anak seperti aku. Ya Allah berilah kesempatan kepada ibuku untuk aku bahagiakan lebih lama lagi di dunia ini. Ya Allaah…!

Sejenak aku berhenti mencari, tanganku bergetar, aku masih tak bisa menghentikan air mataku. Aku membayangkan mimpi buruk itu terjadi dan semua yang akan terjadi setelahnya. Sejenak aku melihat jam di handphone ku, 14.53, sebentar lagi Ashar, apakah ini akan menjadi adzan terakhir baginya? Atau bahkan ia takkan sempat mendengar Ashar yang indah sore ini? Aku menggelengkan kepalaku, mengambil nafas, lalu melanjutkan mencari buku itu lagi. Akhirnya ketemu juga. secepat kilat aku beranjak ke kamar Ibuku, penasaran apakah ibuku masih di sana… kuharap semua masih baik-baik saja.

Sesungguhnya semuanya adalah milik Allah, dan sungguh kepada Allah lah semuanya akan kembali.

Semua takdir yang terjadi merupakan sebuah pengingat. Tak ada gunanya meratapi masa lalu. Ambil pelajaran yang bisa kau ambil. Berbuat baiklah selagi kau punya kesempatan. Jangan menunggu Izrail mengetuk pintu rumahmu. Dan cukuplah kematian sebagai penasihat.

Jam 20.00

Aku masih mengingat-ingat kejadian tadi, sambil terus menulis paragraf terakhir untuk tulisan ini. Saat asyiknya aku mengetik, seseorang memanggilku dan menyuruhku untuk makan malam. Seperti malam-malam sebelumnya. Aku selalu sibuk dengan urusanku sampai lupa makan sampai ia yang mengingatkanku bahkan kadang memaksaku untuk menghentikan kegiatanku. Ya, dia Ibuku. Kondisi badannya sudah jauh lebih baik daritadi siang. Semuanya menjadi pelajaran untukku. Aku masih berharap suatu saat nanti aku bisa mengatakannya langsung di hadapannya, “Aku sayang umi!”

*pluuurk* ukh, udah laper, saatnya makan… love you mom ^_^

1 comment:

  1. so touching... menyadarkan saya agar tidak sombong terhadap ortu...

    ReplyDelete