Saturday, 20 July 2019

Keterusan

Rakyatnya ada 200 juta, konon populasi netter nya terbanyak ketiga dunia. Artinya hampir pasti semua demografi ada di sini. Ya bocah TK, ya alay, kelas menengah ngehek, orang kaya baru, emak-emak, super emak-emak, wonder emak-emak, dll, plus konon juga jadi salah satu warga Negara paling berisik dan dikenal ‘overproud’. Wajar kalo kadang topik rame-ramean linimasa itu telatnya minta ampun. Yang trending di sini sekarang itu sama seperti trending di yurop-yues 3 tahun yang lalu.

Sebagai orang yang pernah pencitraan jadi hipster, gue suka pusing sendiri kalo ada trend yang jadi mainstream. Ini bukan tanpa alasan, isu yang sebenernya baik dan patut disebarkan, di tangan orang yang salah, malah bisa keterusan. Keterusan jadi disinformasi, hoaks (inget bacanya hoaks ya naq anaq bukan hox kata kbbi), atau jadi kenorakan yang berlebihan.

Ngomong soal overproud, ini salah satu istilah yang bisa jadi contoh. Kata ini dilontarkan untuk ‘menasihati’ netizen-netizen Indonesia baru go-international, atau digunakan untuk perbincangan ilmiah professor-professor meme di 9gag atau shitposting kampus elit (yang jumlahnya ga lebih dari tiga waktu). Setelah kata ini booming, semua orang bilang overproud, termasuk yang overproud itu sendiri. Apapun yang berkaitan dengan Indonesia balik dinegatifkan. Kalau ada korupsi, seakan orang Indonesia doang yang korupsi, Kalo ada stadion rusak, kayanya orang Indonesia doang yang ga bisa ngerawat fasilitas. Apa-apa salah orang Indonesia.

Yang bikin gue gatel adalah tentang hoaks. Dulu jaman masih perjuangan ngelawan (atau ngetawain) jarkoman sms, tau arti hoaks aja merupakan privilege orang-orang kelas atas, atau paling enggak kaskuser. Sekarang, apa-apa dibilang hoaks. Hellow, ingkar janji sama hoaks itu beda kali!! (tetap dua-duanya perbuatan tercela ya naq anaq)
sumber tercantum
contoh lain eksploitasi kata hoaks

Dan yang terbaru, ada tentang tulisan tentang faceapp yang katanya mengoleksi jutaan data wajah, dibumbui dengan “hasil penelitian” lain misalnya history search engine penulis&komentator yang masih bisa dilihat dari tahun 2013, atau my timeline punya gmaps ternyata (terkaget-kaget!) merekam posisi kita selama ini, plus bumbu-bumbu tulisan horor distopia spionase walau tanpa terlihat pengaruh bukunya Orwell atau Black Mirror. Belum baca mungkin.

Di saat yang lain udah selesai bahas regulasi, term & condition di berbagai medsos makin di tambah. Para pendiskusi udah ada yang pasrah, bosan, mulai ngomongin topik yang lain, di tahun 2019 di sini baru kaget. Emang Indonesia banget kayaknya.

Semesta dalam angka. Angka dalam semesta

"All is numbers" -Phytagoras
Sejak menemukan tempat di peradaban manusia, sains telah berkembang jauh. Di balik sains yang terus berlari mencari jawaban dari misteri alam semesta, ada hal yang terus mengikutinya.

Matematika.

Sejak kecil, saya mengira matematika adalah belajar angka. Tapi ternyata selepas SMP matematika mulai meluas sampai belajar logika jika-maka atau mencari digit terakhir dari 3 pangkat 2011. Tidak sekedar menghitung harga satuan apel atau menghitung volume liontin.

Memang membingungkan kalau kita cari apa itu matematika sebenarnya. Secara klasik, matematika merupakan “science of quantities” karena matematika sangat erat hubungannya dengan angka. Dengan science of quantities ini, pelajaran IPA direcoki dengan matematika. Hasilnya luar biasa berguna. Kita tidak hanya bisa bangun jembatan, namun juga dengan informasi berat maksimumnya. Gedung (lengkap dengan teknologi anti gempanya), pompa air, pesawat, semua tidak bisa dibangun jika fisika bekerja tanpa menghitung. Jika sains memberitahu kita bahwa gravitasi menarik berat benda ke bawah, matematika memberitahu kita berapa lama batu melayang di udara ketika dilempar. Tapi tak sekedar itu, matematika punya kekuatan yang jauh lebih mengerikan, a power to create its own reality.

Sekolah dasar, masih hangat-hangatnya kami belajar pengurangan. Konsep pengurangan itu dijelaskan Bapak Guru dengan contoh-contoh sederhana: Andi memiliki 5 permen lalu ia makan 2, maka sisanya 3 permen. Konsep ini sangat melekat di kepala saya. Maka ketika ditanya pertanyaan 3 dikurang 7, tanpa ragu akan saya jawab 0. Andi sudah tidak memiliki permen lagi karena semuanya telah dimakan. Di SMP, kami belajar ada angka-angka lain: bilangan negatif. Maka jawaban matematis dari 3 dikurang 7 adalah minus 4. Ketika dibawa lagi ke contoh realistis, sulit dibayangkan seberapa banyak minus 4 permen itu. Seakan minus 4 hanya ada di “dunia matematika” dan tidak dapat dibawa ke “dunia nyata”. Ternyata, bilangan minus empat itu memang nyata. Contoh paling mudah ada di dunia finansial, minus artinya hutang. Sebuah keajaiban sederhana, tapi tetap keajaiban, dua konsep yang berbeda (konsep sisa dan konsep hutang) dapat diprediksikan dari satu teori matematika.

Belum terkesan? Itu baru pendahuluan. Nyatanya, beyond this point, keterhubungan antara realitas dengan abstrak matematika semakin membuat ilmuwan heran.

WHAT WE SEE

WHAT SCIENTISTS SEE

Katanya, anak fisika adalah kumpulan orang-orang yang menerjemahkan fenomena alam menjadi persamaan matematika. Fisikawan juga yang mengutak-atik persamaan-persamaan ini untuk mencari bagaimana dunia ini bekerja (atau jawaban ujian fisika).

Hasil utak-atik ini yang mengagumkan. Angka di akhir perhitungan ini bisa menceritakan banyak hal. Kalau kita menghitung kecepatan mobil dan hasilnya -5 (minus lima), tidak usah panik karena angka itu menunjukkan mobil berjalan mundur, hal normal. Lain halnya kalau yang dicari adalah berat mobil. Kita harus panik. Dari teori atom plain Dalton sampai ke teori quark dan lepton, tidak ada yang namanya massa negatif.  Kecuali pada materi pembentuk wormhole.

So we just accidentally built a wormhole, with a car!


Atau... kita cuma salah itung.

Contoh lainnya ketika ada soal mencari titik potong parabola, kalau ketemu hasilnya -9. Terus gimana? Jangan khawatir, memang tidak ada titik potong.

Itulah mengapa matematika dan angka-angka bisa disebut ajaib. Berangkat dari premis sederhana, ia selalu konsisten, melewati batas intuisi, pengamatan dan pengalaman kita. Kalau hasil perhitungan itu tidak masuk akal, pada kenyataannya tidak ada jawaban atau memang tidak masuk akal.

Inilah yang dilakukan para fisikawan sejak abad ke 20. Einstein menyimpulkan bahwa waktu itu tidak absolut. Ia bisa lebih cepat atau lambat tergantung pengamat. Konsep ini tidak masuk akal dan belum pernah diamati seorangpun. Einstein berani menyimpulkan hal ini agar hasil perhitungan elektrodinamika Maxwell selaras dengan mekanika Newton. Einstein chose math over common sense.

Yang lebih menarik, Einstein juga menggunakan geometri diferensial untuk menjelaskan gravitasi. Geometri diferensial merupakan hasil “karya iseng” para matematikawan. Diciptakan tanpa ada tujuan aplikatif. Sebelum Einstein tidak ada yang menyangka bahwa kerjaan mereka memiliki aplikasi di dunia nyata. Menjadi lebih hebat lagi bahwa pemikiran “nyeleneh” Einstein ini sudah didukung banyak eksperimen hingga saat ini.

Karya iseng lain dari para matematikawan adalah teori dimensi tinggi. Lagi-lagi kerjaan mereka diserobot fisikawan teoris saat mencetuskan teori baru untuk menyelaraskan dua teori besar saat ini: Relativitas Einstein dan Mekanika Kuantum. Teori yang dinamakan teori string ini dalam formulasinya membutuhkan ruang di dimensi 10. Sesuatu yang tidak masuk akal dan pastinya belum pernah diamati oleh siapapun.

Teori string dikembangkan lebih lanjut menjadi teori superstring. Pada teori ini, fisikawan menggunakan matematika yang belum pernah ada sebelumnya. Ruang-super, aljabar-super, angka-super (yes they invented new numbers). Para teoris yang “berselancar” di teori string sudah seperti meninggalkan dunia nyata dan masuk ke dunia angka-angka.

Maka tidak heran apabila Phytagoras berkata bahwa dunia ini adalah angka. Prof. Iwan Pranoto menganggap bahwa dunia ini, kenyataan yang kita tinggali ini, semuanya dibangun oleh matematika. Yang kita lihat bukanlah hijau dan kuning, melainkan gelombang 500nm dan 580nm. Bukan lingkaran kecil yang kita gambar, tetapi x2+y2=5. Dengan menuliskan dunia seperti itu, kita dapat lebih mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan dari alam semesta. Dan jika jawabannya tak masuk akal, seperti dunia berdimensi 10, atau alam semesta paralel, ilmuwan mengambil langkah seperti Einstein, buang common sense dan percaya bahwa dunia kita memang seperti itu...

Atau... mereka cuma salah hitung.

14 September 2015